Selasa, 05 Januari 2010

Mari Menulis

Menulis Membangun Kompetensi
Istri saya me-SMS. “Da, maaflah. Lampu depan mobil pecah, kap mesin peot. Tapi, sudah diperbaiki”. Besoknya isi SMS lain lagi: “Azta diantar pakai mobil. Visi tidak mau, dia ikut Antra”. Azta, anak bungu saya, kelas I SD, sore menelepon: “Pak Pak … flunk jadi kalo ke Bandung”. Lalu, berkisah kesana-kesini. Biasalah. Anak perempuan banyak maunya.

Saya ‘terkenal’ penjawab SMS sangat praktis he he he. “Yap. Ongkos belajar”. Apa hubungannya dengan menulis? Sabar wahai dangsanak.

Saya paling suka mengibaratkan ‘perjalanan’ menulis dengan menyetir mobil. Saya yakin, semakin hari istri semakin terbiasa menyetir. Dan … ini dia … kalau sudah fasih, tidak memikir bagaimana memutar setir agar kepala mobil tidak mencium garasi, atau menyetir sembari menerima telepon. Berlaku otomatis.

Pada hal-hal tertentu, tidak memikirkan yang akan ditulis.“Mar”, kata saya kepada Syamsuwal Qomar yang sedang asyik mendata buku: “Sebutkan satu kata”. Dijawab: “Seronok”. Tangan menari di keybord komputer. Arti kata seronok di KBBI, dan seronok sebagaimana ditulis Kamus Dewan (Malaysia) begabung begitu saja. Ketika ke Malaysia terpingkal-pingkal ketika orang Malaysia memuji penampilan Band Gigi, Dewa, Ungu, dengan ‘seronok’. Orang Indonesia memahami terbalik dari apa yang ditulis di KBBI. “Berapa menit?”. Ternyata memecahkan rekor menulis artikel, hanya 9 (sembilan) menit.

Banyak contoh lainnya. Pernahkah menghapal jalan ke kampus atau kantor? Tidak kan? Tapi, ingat, paham penampakkan jalan sampai detailnya. Dari kantor, tanpa sadar sampai di rumah. Perjalanan itu tidak dipikir, tetapi dilakukan. Justru, dalam perjalanan bercanda, menelepon kesana-kemari, atau melamun. Kenapa ya? Fasih. Sesuatu yang difasihkan, menjadi kompentensi (refleks). Tidak perlu dipikir.

Kompetensi menulis, apalagi menulis refklektif hanya dimungkinkan kalau melakukan. Menulis, menulis, dan terus menulis. Kenapa ada orang sangat canggih berpikir, tetapi menuangakan pikiran (menulis) tergolong pandir?

Yang terlatih fasih berpikir, bukan menuangkan pikiran. Artinya, kompentensi yang dipunyai sesuai dengan apa yang dibiasakan. Jangan coba-coba menganggap enteng menulis populer. Boleh saja hebat menulis Disertasi, tunggu dulu untuk media umum. Buktikan.

Sekali lagi, membangun kompetensi menulis dengan melakukan. Bukan, berguru atau berdebat. Hal tersebut sebaiknya dilakukan sebelaum atau sesudah menulis. Kalau saat menulis, dijamin tulisannya tidak menjadi, minimal tersendat-sendat. Menulis ya menulis saja. Memasihkan menulis, melatih menulis, ya … lakukan. Menulis Tanpa Berguru. Saya menulis tulisan ini berdasarkan pengalaman, bukan dicaplok dari Teori Menulis. Lakukan. Nikmati buktinya.

Bagaiamana menurut Samperyan?

Ersis Warmansyah Abbas; Banjarbaru 2009
http//www.webersis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar